FPHS Dukung Gubernur Tolak Izin Perluasan Area Tambang

Timika, 24/1– Ketua Forum Pemilik Hak Sulung Tsinga Waa-Banti Aroanop (FPHS Tsingwarop) Yafet Manga Beanal, mendukung sikap Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.Ip, MH masyarakat sebagai pemilik Areal Tambang PT Freeport Indonesia.

Dengan demikian Gubernur Lukas menolak izin pelebaran operasi 1.000 hektar meskipun PT Freeport Imdonesia (PTFI) telah mengantogi Ijin Usaha Tambang Khusus (IUPK) dari Pemerintah Pusat.

“Sesuai Undang undang (UU) Mineral, Energi dan Pertmabangan (Minerba) Nomor.4 Tahun 2009 pasal 135 yang tegas menjelaskan bahwa Pemegang IUP eksplorasi atau IUPK eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatan setelah mendapatkan persetujuan terhadap hak atas tanah,” kata Yafet belum lama ini.

Yafet mengatakan, FPHS yang juga sebagai pemilik hak atas tanah FPHS TSingwarop tetap mengacu pada peraturan baku yang berlaku sehingga apa yang sudah dijelaskan Gubernur Papua itu sangat tepat dan FHPS selalu dukung penuh.

FPHS bersama masyarakat pemilik hak ulayat di area tambang PTFI meminta Pemerintah Pusat (Pempus) dan PTFI yang selama ini mengabaikan hak-hak masyarakat adat pemilik hak ulayat agar segera dihentikan. Semua pihak termasuk PTFI dapat mengikuti aturan yang sudah ditetapkan.

Selain itu menjunjung tinggi dan menempatkan aturan di tempat yang lebih tinggi demi kenyamanan dan keamanan Investasi di daerah ini. “Sebagai pemilik hak ulayat dan hak sulung atas daerah ini kami minta itu uyntuk dihargai, dihormati dan ditegakan,” kata Yafet.

Yafet mengajak MRP dan DPRP untuk mendukung sikap tegas dan niat baik Gubernur Enembe sehingga masyarakat adat d bumi Mimika dan di tanah Papua dapat dimanusiakan di NKRI ini.

Sikap FPHS dengan tegas mendukung gubernur agar tidak mengeluarkan izin pelebaran area tambang PTFI. Sikap ini bagian dari toleransi FPHS dan masyarakat adat untuk menjaga warisan tanah leluhur mereka untuk masa depan anak cucu mereka kedepan.

“Gubernur otomatis tidak mengeluarkan izin karena beliau tahu masa depan masyarakat adat dan generasi penerus aak adat di tanah ini akan suram. Apalagi Gubernur Enembe itu anak adat, anak yag memiliki budaya sehingga beliau menolak keras permintaan pelebaran area tambang ini,” tegas Yafet.

Yafet meminta PTFI dan Pemerintah Pusat (Pempus) tidak gegabah dalam mengambil sikpa kemudian menabrak aturan hanya untuk kepentingan dan keuntungan sepihak buat mereka, tanpa melihat, mempertmbangkan dampak yang dialami hari ini dan kedepan oleh masyarakat adat terutama masyarakat adat yang ada area tambang tembaga danemas terbesar di dunia ini.

Kemudian Sekretaris I FPHS Tsingwarop, Yohan Zonggonau, menegaskan rambu utama dalam menindaklanjuti soal hak dan kewajiban semua pihak adalah aturan mulai dari UU, Peraturan Menteri hingga Peraturan Daerah (Perda) Perdasus yang mengatur soal pertambanbgan.

Semua pihak mulai dari Jakarta, Jayapura sampai ke Timika mari hormati itu dulu. Belajar untuk untuk menghormati, menghargai aturan yang sudah negara buat untuk kemakmuran bersama. Dalam UU Minerba terbaru sdah berlakukan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Dasar aturan ini membuat pemerintah pusat menerapkan IUPK terhadap perusahaan tambang milik Amerika Serikat (AS) yang sudah 40 tahun bercokol di Bumi Amungsa dan Tanah Kamoro ini. Dengan IUPK maka CEO dan Dirut PT Freeport MicMoran Gold and Copper Nola, AS, Richard Adkerson menerima itu. Dengan demikian PTFI memenuhi pasal 135 dan 136 UU Minerba yang baru dengan IUPK dimana hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat diatur secara jelas.

“Jika PTFI tidak jalankan aturan ini secara jelas maka kami nyatakan PT Freeport Indonesia beroperasi di wilayah kami secara ilegal. Sebab, mereka belum mendapat izin dari masyarakat adat,” terang Yohan.

Yohan menjelaskan pihaknya sebagai pengurus FPHS telah melakukan melakukan pertemuan-pertemuan sehingga ada rekomendasi-rekomendasi, kemudian surat menyurat kami harus dimasukan ke seluruh Menteri Kabinet Kerja dan juga kepada Presiden Joko Widodo.

“Kami lihat negara tidak peduli dengan rakyatnya sendiri yang memiliki hak mutlak atas tanah dan kekayaan alam yang mereka miliki. Semua pihak sudah mengetahui kalau FPHS Tsingwarop akan menutupan tambang jika usul FPHS tidak diakomodir secara detail dan benar.

FPHS telah mengajukan usul-usulan itu tapi belum ada jawaban. Diharapkan permintaan itu segera dijawab dengan pengakuan mutlak dan ditulis dalam dokumen negara. FPHS tidak mau dipermainkan lagi sehingga negara dan Inalum segera membicarakan hak-hak masyarakat adat pemilik hak ulayat ini.

Apalagi sejak hadirnya PTFI di Papua, tidak ada satupun hak-hak masyaraat adat terakomodir dalam lembaran dan dokumen negara. Mulai sekarang harus dibahas bersama dan dicatat dalam lembaran negara.

Sedangkan Sekretaris II FPHS, Elfinus Jangkup Omaleng, mengakui pemegang hak atas tanah, hutan, air dan isinya adalah Masyarakat Pemilik Hak Ulayat yang mendiami daerah tambang. Tambang ada di Timika, Papua berarti pemilik Hak Kesulungan adalah masyarakat asli Papua yang berhak menerbitkan ijin sebelum kegiatan operasi tambang berjalan.

Sehingga UU Lingkungan Hidup, UU serta Peraturan Pemerintah (PP) soal Kehutanan, UU OTSUS Papua, serta Hukum International Convensi ILO 169 semuanya menjamin tentang Hak Ulayat atas tanah Adat. Dengan demikian hak-hak masyarakat adat sebagai hak kesulungan itu perlu diakomodir pemerintah, Inalum serta PTFI dalam lembaran negara.

Dengan dasar UU dan peraturan menteri dan aturan teknis lainnya yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat, sehingga saat ini operasional tambang dihentikan dulu sambil pihak-pihak terkait ini membahas hak dan kewajiban masing-masing terlebih soal hak ulayat ini. (*)

Administrator Timika Bisnis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *