Elfinus sendiri menghabiskan pendidikan dasar di Banti kemudian lanjut di Tembagapura. SMP di Tembagapura, dan SMA di Darwin Australia. Perguruan tinggi waktu itu dianjurkan ke Amerika, tapi beliau memilih tetap di Australia. Sejak SMA beliau salah satu lulusan terbaik sehingga diminta oleh sekolah mengajar lagi di sekolah tersebut
ELFINUS Jangkup Omaleng, putra Tiga Kampung, Banti-Waa, Tsinga dan Aroanop yang ada di area pertambangan emas-tembaga terbesar dunia, Tembagapura selama beberapa bulan belakangan ini berkosentrasi maju dan bersaing dengan calon legislatif sebagai Anggota DPR RI di Senayan Jakarta sana.
Dalam bincang-bincang bersama di Posko Pemenangan Elfinus-Yohan di depan SMAN I Timika-Papua, Elfinus mengatakan dirinya dirinya sejak kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi di luar negeri hanya ingin mengabdi demi masyarakatnya yang ada di gunung sana. Selama ini ada banyak masalah yang berhubungan dengan operasional tambang besar itu belum mengakomodir hak-hak dasar masyarakat adat Amungme dan Kamoro khususnya dan Papua umumnya.
Pria jebolan SMA di Darwin Australia dan menyelesaikan pendidikan tinggi (PT) pada Jurusan Ekonomi Bisnis Adminitrasi di Australia ini, membenarkan bahwa sejak 50 tahun beroperasi di tanah Amungme dan Bumi Kamoro perusahaan raksasa milik Amerika Serikat (AS) ini dan Pemerintah RI belum mengakui dan menghormati hak-hak ulayat masyarakat adat.
UU Minerba yang baru yang mengatur soal Izin IUPK ada poin yang mengatur soal perizinan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat pemilik hak ulayat. Artinya, mengacu pada UU Minerba ini, wajib bagi pemilik perusahaan tambang untuk mengurus izin dari masyarakat pemilik hak ulayat. Jika ini tidak dilakukan maka perusahaan tambang yang ada saat ini harus berhenti beroperasi dulu sambil lengkapi perizinannya.
Sangat benar jika masyarakat Banti-Waa, Tsinga, Aroanop sebagai pemilik lahan yang saat ini dikelola sebagai tambang emas, tembaga dan kandungan mineral lainnya oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) mereka akan membuat perhitungan ulang dengan Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum. “ Saat pertemuan beberapa waktu lalu yang difasilitasi Bupati Mimika, Eltinus Omaleng berkaitan dengan pembagian saham, Tokoh Adat Amungme dari Kampung Banti, Yanes Natkime mengancam akan membuat perhitungan ulang dengan Inalum. Sebelum Inalum hadir di Timika harus selesaikan persoalan dengan masyarakat pemilik hak ulayat dulu baru boleh jalan usahanya. Kami dukung Pak Yanes semua dan sama-sama dorong supaya ada pertemuan dan kesepakatan baru dengan Inalum, Freeport dan Pemerintah Indonesia. Sebelum ada izin operasional perusahaan berhenti dulu sampai ada kesepakatan. Kalau tidak sepakat tutup total,” tegas Elfinus.
Bagi Elfinus sejak awal kembali ke Papua, dirinya menggugat Freeport dan sampai sekarang ini terus menggugat Freeport. Baginya dengan bekal pendidikan dan pengalaman dari negeri Kanguru ini bisa dia terapkan di kampung halamannya, sehingga masyarakatnya tidak dirundung masalah terus. Terlebih masalah yang berhubungan dengan kepemilikan tanah di area tambang yang sejak awal ditutup tutupi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Waktu Sekolah di Australia, Elfinus mengakui, sejumlah orang-orang dekatnya, teman-temannya dari Banti-Waa, Tsinga dan Aroanop, meminta dirinya untuk pulang sehingga bisa berjuang bersama soal hak-hak masyarakat adat di sekitar area tambang ini.
Atas permintaan itu, Elfinus bersedia meninggalkan pekerjaannya, rumah, dan keluarga di Australia dan kembali ke Timika untuk berjuang mengembalikan martabat, kehormatan dan hak-hak masyarakat yang selama ini dirampas tanpa ada pengakuan yang jelas dari perusahaan.
“ Saya terus berjuang menggugat Freeport. Saya bertemu dengan Menteri dan pejabat di ESDM untuk meminta agar mereka membuka keran yang selama ini tertutup soal lahan sekian ribuan hektar yang merupakan hak milik masyarakat tiga kampung yang diambil Freeport. Saya melihat selama ini pemerintah tidur, pemerintah buta, pemerintah tutup telinga dengan penderitaan masyarakat Banti-Waa, Tsinga dan Aroanop. Selama ini pemerintah diam saja, dan pura-pura tidak tahu. Kalau pemerintah merasa Papua bukan bagian dari Indonesia kasih pisah sudah. Pemerintah jangan takut dengan pemegang saham (pemilik perusahaan) orang asing itu. Kitas yang harus atur mereka bukan mereka yang atur kita. Kita seperti kerbau yang digiring kemana-mana dan ikut saja dari belakang,” tegas Elfinus.
Sebagai anak Amungme, anak Mimika, dan anak Indonesia, Elfinus meminta Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus membela hak-hak dasar masyarakat yang saat ini lahannya dikelola ihak asing tanpa ada pengakuan masyarakat sebagai pemilik ulayat. Beberapa waktu lalu, dirinya bersama beberapa orang bertemu dengan sejumlah menteri kabinet kerja untuk membahas soal pengakuan kepemilikan hak ulayat ini dan pengakuan hak-hak dasar bagi masyatrakat yang ada di sekitar area pertambangan.
Saat ini dirinya sadar, kalau masih berada di luar, mau bersuara sekuat apapun, semerdu apapun, sehebat apapun tidak akan didengar oleh pemerintah dan para petinggi di negeri ini baik itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. Untuk itu Elfinus memutuskan untuk ikut dalam pesta demokrasi 2019 sebagai calon legislatif (Caleg) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Melalui PSI dirinya akan terus berteriak untuk kebenaran, kesejahteraan, dan demi kehormatan dan kesejahteraan masyarakat adat Papua.
Saat ini pula pihaknya sedang menggagaskan sebuah Perdasus yang mengatur soal kepemilikan hak ulayat di Tanah Papua. Pihaknya sudah bertemu Gubernur Papua, Lukas Enembe, Wakil Gubernur Klemen Tinal, Sekda Hery Dosinaen. Ketiga pejabat ini, merespon begitu bagus dan bersedia untuk menetapkan kepemilikan hak ulayat masyarakat adat ini dengan Perdasus, Pergub nanti. Jika sudah ditetapkan bersama DPRP, Gubernur akan mengundang para bupati dan walikota untuk menyampaikan produk hukum yang mengatur hak ulayat orang Papua ini.
Bagi Elfinus, selama ini semua orang besar mulai dari Jakarta, provinsi dan kabupaten ini selalu kalah dan lemah dihadapan perusahaan ansing sekelas Freeport ini. Tidak ada satupun yang mau bersuara untuk kepentingan masyarakat pemilik tanah diatas usaha tambang ini. Sebagai anak asli, saya harus buka dan berteriak soal ini supaya semua buka mata, buka hati dan buka telinga supaya jangan remehkan masyarakat adat ini. Kalau memang ada regulasi mengatus soal kepemilikan masyarakat maka harus ikuti itu. Perusahaan wajib mengajukan permohonan izin atau rekomendasi dari masyarakat adat. Jika Perdasus Kepemilikan Hak Ulayat masyarakat Papua sudah ditetapkan maka semua harus mengikuti prosedur itu.
Elfinus sendiri menghabiskan pendidikan dasar di Banti kemudian lanjut di Tembagapura. Kemudian SMP di Tembagapura, dan SMA di Darwin Australia. Kemudian perguruan tinggi waktu itu dianjurkan ke Amerika, tapi beliau memilih tetap di Australia. Sejak SMA beliau salah satu lulusan terbaik sehingga diminta oleh sekolah mengajar lagi di sekolah tersebut. Saat ke peruguruan tinggi (PT), beliau tetap mengajar dan diajak teman-temannya dan para senior untuk menjadi asisten lowyer di Pengadilan.
Dengan pekerjaan ini setiap bulan dirinya bisa mendapatkan penghasilan Rp30-40 juta. Kemudian ada rumah dipinggir pantai, punya mobil dan pekerjaan lebih mumpuni. Ibarat pepatah kuno mengatakan, hujan emas di negeri orang dan hujan batu di negeri sendiri. Artinya meskipun di negeri orang punya pekerjaan bagus dengan penghasilan mumpuni tapi lebih cinta negeri sendiri sehingga harus pulang dan berjuang untuk masyarakat. Sampai di Timika, saat dirinya bersama rekan-rekannya mulai gugat dan demo soal kepemilikan hal ulayat, ada tawaran dari kerja beberapa kali dari Manajemen PTFI, dengan penghasilan besar, fasilitas disiapkan, tapi dirinya menolak semua itu karena dia fokus bela kepentingan masyarakat yang jauh lebih mulia. Mudah-mudahan apa yang kami perjuangkan ini membawa hasil maksimal untuk kesejahteraan masyarakat. (marus waka)